Prof. Yudhie Haryono (Foto: Dok. pribadi)
"Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai keadilan, kebahagiaan dan kemakmuran semua warga-negara," demikian kata proklamator Mohammad Hatta (1902-1980)."
Guna meraih ketiganya, kita butuh tegaknya negara hukum. Maka, saat perekonomian nasional hidup tanpa undang-undang, itu artinya kekosongan yang tidak bisa dibiarkan.
Indonesia hari ini menghadapi satu kenyataan yang ganjil. Kita telah merdeka secara politik, namun masih belum memiliki fondasi hukum yang memadai untuk mengatur perekonomian nasional secara utuh. Semua sibuk membuat undang-undang perpolitikan nasional tetapi abai pada undang-undang perekonomian nasional.
Padahal, pasal 33 UUD 1945 sudah sejak awal merumuskan arah ekonomi Indonesia yang berkeadilan sosial, berbasis asas kekeluargaan, dan bertumpu pada demokratisasi ekonomi.
Namun hingga saat ini, belum ada satu pun undang-undang komprehensif (omnibus law) yang benar-benar mengikat sistem ekonomi nasional berdasarkan amanat tersebut.
Ketiadaan Undang Undang Perekonomian Nasional telah menyebabkan kebijakan ekonomi di negeri ini berjalan dalam keadaan terfragmentasi, parsial, bahkan sering kali bertabrakan satu sama lain. Tanpa satu arsitektur hukum yang menjadi payungnya, setiap kementerian dan lembaga ekonomi bergerak dengan logika sektoral masing-masing.
Dampaknya bukan hanya pada tumpang tindih kebijakan, tapi juga pada hilangnya arah dan orientasi ekonomi ke depan yang seharusnya menjamin keadilan struktural bagi seluruh warga-negara. Banjirnya kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan menjadi bukti tak terbantahkan atas ketiadaan undang-undang ini.
Perekonomian nasional sejatinya adalah ekspresi kolektif dari bagaimana sebuah negara-bangsa memaknai kedaulatan. Ia bukan sekadar angka dalam laporan PDB atau statistik ekspor impor.
Ia adalah cara kita mengelola tanah, air, dan udara demi sebesar besarnya kemakmuran bersama. Ia adalah bagaimana warga-negara diberi ruang, akses, dan hak atas alat-alat produksi, bukan disisihkan oleh logika pasar bebas yang tidak berpihak.
Lebih dari itu, absennya undang undang ekonomi nasional telah membuka ruang bagi liberalisasi tak terkendali. Komoditas publik yang mestinya dikuasai negara justru dikomersialisasi. Aset negara diswastakan.
Kepentingan warga-negara tergeser oleh tekanan investasi dan ekspansi korporasi. Semua ini berlangsung tanpa proteksi hukum yang cukup karena kerangka legislatif kita masih kosong dalam substansi yang paling vital. Karenanya kita patut bertanya, "Siapa sebenarnya pemilik ekonomi negeri ini?" Untuk menjawabnya, konstitusi kita telah sangat jelas mengurainya.
Pasal 33 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dua hal ini bukan sekadar retorika ideologis, melainkan mandat konstitusional yang menunggu diwujudkan dalam bentuk legislasi yang jelas dan operasional.
Dalam situasi seperti ini, warga negara tidak boleh diam. Kita tidak bisa menyerahkan seluruh proses legislasi ekonomi kepada elite politik atau teknokrat yang bekerja dalam ruang tertutup: apalagi jual-beli pasal.
Warga negara, komunitas, akademisi, dan aktivis harus turut serta menjadi perancang rancangan undang-undang ekonomi nasional yang benar-benar berpihak. Sebab, demokrasi ekonomi yang dimaksud oleh konstitusi tidak akan hidup jika demokrasi legislasi mati.
Proses ini bukan perkara teknis hukum semata. Ini adalah soal arah sejarah. Apakah Indonesia akan menjadi negara yang membiarkan ekonomi dikendalikan oleh pasar dan modal, atau negara yang mengatur ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial dan kedaulatan warga-negara.
Di sinilah makna partisipasi warga menjadi penting. Bukan sekadar aspirasi, tetapi sebagai kekuatan konstitusional untuk menentukan masa depan. Kita butuh undang undang yang melindungi, memperkuat dan mengembangkan kelembagaan ekonomi rakyat seperti Koperasi, BUMN, dan usaha mikro lainnya.
Bukan undang-undang yang mempermudah privatisasi atau menjadikan warga-negara hanya sebagai konsumen dan penerima bantuan. Kita butuh hukum yang menata ulang sistem agar gotong-royong menjadi prinsip kerja, bukan jargon normatif yang dikalahkan oleh praktik manipulatif.
Legislasi ekonomi nasional harus dimulai dari keberanian politik dan kesadaran kolektif bahwa arah ekonomi tidak boleh diserahkan pada kekuatan pasar semata. Ia harus dikembalikan pada semangat kenusantaraan, keindonesiaan, dan nilai nilai luhur Pancasila.
Karena ekonomi bukan alat untuk memperkaya segelintir orang dan keluarga semata, melainkan medium untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, kemartabatan, dan kemanusiaan yang adil.
Jika kita ingin memiliki masa depan ekonomi yang berdaulat, gagah dan memimpin dunia, maka tidak ada lagi alasan untuk menunda menghadirkannya. Undang-Undang Perekonomian Nasional harus segera dirancang, didiskusikan dan disahkan. Bukan oleh elite, tetapi oleh seluruh warga-negara.
Mengapa begitu? Karena ekonomi nasional tanpa hukum adalah kekosongan. Dan, kekosongan itu hanya akan diisi oleh yang paling kuat, bukan oleh mereka yang paling membutuhkan dan paling berhak.
Ingatlah sebuah nasihat, "Ketika akumulasi kekayaan tidak lagi memiliki kepentingan nasional dan sosial yang tinggi, akan terjadi perubahan besar dalam kode moral (John Maynard Keynes/1883-1946)." Mari, kini dan sekarang juga kita mulai.
Keniscayaan dan Mandat Konstitusional
Masih terkait ekonomi yang berdaulat, dalam satu kesempatan Adam Smith (1723-1790) berkata, 'keputusan ekonomi yang bijak adalah hasil dari pemahaman yang mendalam tentang risiko dan manfaat bagi negaranya." Tanpa keputusan yang benar, ekonomi nasional hanya tulisan, bukan sistem yang bijaksana.
Berangkat dari tesis tersebut, program merancang legislasi ekonomi menjadi keniscayaan sekaligus mandat konstitusional yang sah. Kebutuhan akan undang-undang ini wajib hadir secara struktural dan kultural.
Tentu, kita harus bongkar skema lama (yang parsial, residual, menguntungkan satu pihak, terpecah-pecah, non-ideologis), lalu bangun sistem yang berpihak pada semua (adil, berdaulat, beradab, simultan, komprehensif).
Sungguh. Kita tidak sedang kekurangan teori atau cita-cita ekonomi. Kekurangan kita adalah keberanian hukum untuk mengubah sistem yang gagal total mewujudkan keadilan.
Undang-Undang Perekonomian Nasional (disingkat UUPN) yang selama ini ditunda terus-menerus bukan karena belum dipahami urgensinya, tapi karena terlalu banyak pihak yang nyaman dengan sistem lama yang timpang. Mereka untung saat orang kebanyakan buntung.
Padahal tanpa kerangka hukum utama yang berpihak, seluruh arah ekonomi nasional hari ini tak lebih dari tambal sulam kebijakan jangka pendek yang justru menormalisasi ketimpangan; menyengajakan kemiskinan; menumpuk pengangguran; mentradisikan keserakahan.
Selama ini, hukum ekonomi dipakai untuk menjaga pertumbuhan, bukan pemerataan. Untuk melindungi korporasi, bukan koperasi. Untuk mengamankan modal besar, bukan keberlangsungan hidup warga-negara.
Kita menghadapi kenyataan pahit: konstitusi berbicara soal gotong royong dan kedaulatan ekonomi, tapi praktik perundang-undangan lebih banyak tunduk pada logika pasar bebas dan tekanan lobi investasi.
Kekosongan UUPN itulah yang menjadikan negara ini kehilangan kendali atas arah pembangunan ekonominya sendiri. Lihat saja bagaimana agenda pembangunan disusun. Rencana lima tahunan disiapkan secara teknokratis, terputus dari mandat Pancasila serta UUD 1945, sehingga tanpa kerangka hukum yang mengikat.
Sedihnya, setiap ganti pemerintahan, ganti narasi. Tidak ada fondasi hukum yang menjamin bahwa ekonomi kita bergerak ke arah yang benar: adil, berkelanjutan, dan berpihak pada yang lemah. Justru yang dilanggengkan adalah status quo yang menempatkan warga negara sebagai target bantuan, bukan pelaku utama ekonomi.
Sudah waktunya kita mengakhiri sistem ekonomi yang menjadikan hukum sebagai pelayan pertumbuhan eksklusif. Legislasi ekonomi harus dibangun kembali, bukan dengan logika teknokratik dari atas, tapi melalui tekanan publik dari bawah.
Rancangan UUPN harus lahir dari tangan warga negara sendiri, bukan dari hasil kompromi ruang tertutup antara elite partai dan pelobi industri. Prosesnya harus terbuka, partisipatif, dan berani menabrak kenyamanan yang sudah terlalu lama dimonopoli oligarki.
Koperasi, BUMN, dan usaha rakyat lainnya bukan pelengkap narasi ekonomi. Mereka harus jadi pilar utama yang dilindungi hukum. Jika negara serius ingin membangun ekonomi yang demokratis, maka UUPN ini harus mewajibkan afirmasi terhadap pelaku ekonomi kecil, redistribusi akses terhadap tanah, modal, teknologi, dan pasar.
Tentu saja, kita tidak butuh subsidi yang bersifat karitatif. Sebaliknya, kita butuh sistem ekonomi yang dibentuk secara sadar untuk membalik struktur ketimpangan yang selama ini dianggap normal. Kita butuh revolusi konstitusi yang adil dan beradab.
Skema gotong royong hanya bisa hidup jika negara hadir. Dan, kehadiran negara bukan cukup dengan wacana. Ia harus diikat oleh hukum. UUPN harus secara terang mengharamkan praktik gotong-nyolong yang dilegitimasi lewat celah hukum.
Ini bukan soal moral semata, tapi soal struktur. Ketika hukum membiarkan, maka yang kuat akan terus menang dan yang lemah terus dikorbankan. Ini harus diputus: diakhiri sekarang juga!
Tiga langkah mendesak harus dilakukan. Pertama, bentuk sidang warga negara di seluruh daerah untuk menyusun draft aspiratif. Kedua, bangun koalisi lintas kampus, komunitas, dan pelaku ekonomi rakyat untuk mengawal proses legislasi. Ketiga, dorong terbentuknya Indeks Legislasi Ekonomi Berkeadilan sebagai alat pemantau seluruh produk hukum yang keluar dari parlemen.
Ini sangat penting karena kita tidak bisa lagi percaya penuh pada niat baik politik tanpa alat kontrol yang kuat. Parpol dan elite nasional terbukti tak sungguh-sungguh membela semua warga-negara. Sebaliknya, mereka membela dirinya saja.
Pemerataan ekonomi tidak bisa dicapai lewat seremonial. Ia hanya akan lahir dari perubahan struktural. Dan, perubahan itu tidak akan datang jika kita terus diam. Kita harus paksa hukum kembali ke jalan keadilan.
Kita harus rebut ruang legislasi dari cengkeraman elite ekonomi. Kita harus memulai perlawanan dari hal paling dasar: mengatur ulang sistem, dan jika kita ingin Indonesia merdeka secara ekonomi, maka UUPN bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah pertaruhan sejarah.
Kita sedang menentukan apakah ekonomi negeri ini akan terus dikendalikan dari atas oleh segelintir penguasa modal, atau dikembalikan ke tangan warga negara sebagai pemilik sah republik ini. Diam adalah izin. Bergerak adalah syarat.
Ingat kata Bung Karno (1901-1970) proklamator kita, "Berdikarilah. Jangan bergantung pada bangsa lain, bangunlah kemandirian di semua lini." Mari. Segerakan. Kini bukan nanti.
"Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai keadilan, kebahagiaan dan kemakmuran semua warga-negara," demikian kata proklamator Mohammad Hatta (1902-1980)."
Guna meraih ketiganya, kita butuh tegaknya negara hukum. Maka, saat perekonomian nasional hidup tanpa undang-undang, itu artinya kekosongan yang tidak bisa dibiarkan.
Indonesia hari ini menghadapi satu kenyataan yang ganjil. Kita telah merdeka secara politik, namun masih belum memiliki fondasi hukum yang memadai untuk mengatur perekonomian nasional secara utuh. Semua sibuk membuat undang-undang perpolitikan nasional tetapi abai pada undang-undang perekonomian nasional.
Padahal, pasal 33 UUD 1945 sudah sejak awal merumuskan arah ekonomi Indonesia yang berkeadilan sosial, berbasis asas kekeluargaan, dan bertumpu pada demokratisasi ekonomi.
Namun hingga saat ini, belum ada satu pun undang-undang komprehensif (omnibus law) yang benar-benar mengikat sistem ekonomi nasional berdasarkan amanat tersebut.
Ketiadaan Undang Undang Perekonomian Nasional telah menyebabkan kebijakan ekonomi di negeri ini berjalan dalam keadaan terfragmentasi, parsial, bahkan sering kali bertabrakan satu sama lain. Tanpa satu arsitektur hukum yang menjadi payungnya, setiap kementerian dan lembaga ekonomi bergerak dengan logika sektoral masing-masing.
Dampaknya bukan hanya pada tumpang tindih kebijakan, tapi juga pada hilangnya arah dan orientasi ekonomi ke depan yang seharusnya menjamin keadilan struktural bagi seluruh warga-negara. Banjirnya kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan menjadi bukti tak terbantahkan atas ketiadaan undang-undang ini.
Perekonomian nasional sejatinya adalah ekspresi kolektif dari bagaimana sebuah negara-bangsa memaknai kedaulatan. Ia bukan sekadar angka dalam laporan PDB atau statistik ekspor impor.
Ia adalah cara kita mengelola tanah, air, dan udara demi sebesar besarnya kemakmuran bersama. Ia adalah bagaimana warga-negara diberi ruang, akses, dan hak atas alat-alat produksi, bukan disisihkan oleh logika pasar bebas yang tidak berpihak.
Lebih dari itu, absennya undang undang ekonomi nasional telah membuka ruang bagi liberalisasi tak terkendali. Komoditas publik yang mestinya dikuasai negara justru dikomersialisasi. Aset negara diswastakan.
Kepentingan warga-negara tergeser oleh tekanan investasi dan ekspansi korporasi. Semua ini berlangsung tanpa proteksi hukum yang cukup karena kerangka legislatif kita masih kosong dalam substansi yang paling vital. Karenanya kita patut bertanya, "Siapa sebenarnya pemilik ekonomi negeri ini?" Untuk menjawabnya, konstitusi kita telah sangat jelas mengurainya.
Pasal 33 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dua hal ini bukan sekadar retorika ideologis, melainkan mandat konstitusional yang menunggu diwujudkan dalam bentuk legislasi yang jelas dan operasional.
Dalam situasi seperti ini, warga negara tidak boleh diam. Kita tidak bisa menyerahkan seluruh proses legislasi ekonomi kepada elite politik atau teknokrat yang bekerja dalam ruang tertutup: apalagi jual-beli pasal.
Warga negara, komunitas, akademisi, dan aktivis harus turut serta menjadi perancang rancangan undang-undang ekonomi nasional yang benar-benar berpihak. Sebab, demokrasi ekonomi yang dimaksud oleh konstitusi tidak akan hidup jika demokrasi legislasi mati.
Proses ini bukan perkara teknis hukum semata. Ini adalah soal arah sejarah. Apakah Indonesia akan menjadi negara yang membiarkan ekonomi dikendalikan oleh pasar dan modal, atau negara yang mengatur ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial dan kedaulatan warga-negara.
Di sinilah makna partisipasi warga menjadi penting. Bukan sekadar aspirasi, tetapi sebagai kekuatan konstitusional untuk menentukan masa depan. Kita butuh undang undang yang melindungi, memperkuat dan mengembangkan kelembagaan ekonomi rakyat seperti Koperasi, BUMN, dan usaha mikro lainnya.
Bukan undang-undang yang mempermudah privatisasi atau menjadikan warga-negara hanya sebagai konsumen dan penerima bantuan. Kita butuh hukum yang menata ulang sistem agar gotong-royong menjadi prinsip kerja, bukan jargon normatif yang dikalahkan oleh praktik manipulatif.
Legislasi ekonomi nasional harus dimulai dari keberanian politik dan kesadaran kolektif bahwa arah ekonomi tidak boleh diserahkan pada kekuatan pasar semata. Ia harus dikembalikan pada semangat kenusantaraan, keindonesiaan, dan nilai nilai luhur Pancasila.
Karena ekonomi bukan alat untuk memperkaya segelintir orang dan keluarga semata, melainkan medium untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, kemartabatan, dan kemanusiaan yang adil.
Jika kita ingin memiliki masa depan ekonomi yang berdaulat, gagah dan memimpin dunia, maka tidak ada lagi alasan untuk menunda menghadirkannya. Undang-Undang Perekonomian Nasional harus segera dirancang, didiskusikan dan disahkan. Bukan oleh elite, tetapi oleh seluruh warga-negara.
Mengapa begitu? Karena ekonomi nasional tanpa hukum adalah kekosongan. Dan, kekosongan itu hanya akan diisi oleh yang paling kuat, bukan oleh mereka yang paling membutuhkan dan paling berhak.
Ingatlah sebuah nasihat, "Ketika akumulasi kekayaan tidak lagi memiliki kepentingan nasional dan sosial yang tinggi, akan terjadi perubahan besar dalam kode moral (John Maynard Keynes/1883-1946)." Mari, kini dan sekarang juga kita mulai.
Keniscayaan dan Mandat Konstitusional
Masih terkait ekonomi yang berdaulat, dalam satu kesempatan Adam Smith (1723-1790) berkata, 'keputusan ekonomi yang bijak adalah hasil dari pemahaman yang mendalam tentang risiko dan manfaat bagi negaranya." Tanpa keputusan yang benar, ekonomi nasional hanya tulisan, bukan sistem yang bijaksana.
Berangkat dari tesis tersebut, program merancang legislasi ekonomi menjadi keniscayaan sekaligus mandat konstitusional yang sah. Kebutuhan akan undang-undang ini wajib hadir secara struktural dan kultural.
Tentu, kita harus bongkar skema lama (yang parsial, residual, menguntungkan satu pihak, terpecah-pecah, non-ideologis), lalu bangun sistem yang berpihak pada semua (adil, berdaulat, beradab, simultan, komprehensif).
Sungguh. Kita tidak sedang kekurangan teori atau cita-cita ekonomi. Kekurangan kita adalah keberanian hukum untuk mengubah sistem yang gagal total mewujudkan keadilan.
Undang-Undang Perekonomian Nasional (disingkat UUPN) yang selama ini ditunda terus-menerus bukan karena belum dipahami urgensinya, tapi karena terlalu banyak pihak yang nyaman dengan sistem lama yang timpang. Mereka untung saat orang kebanyakan buntung.
Padahal tanpa kerangka hukum utama yang berpihak, seluruh arah ekonomi nasional hari ini tak lebih dari tambal sulam kebijakan jangka pendek yang justru menormalisasi ketimpangan; menyengajakan kemiskinan; menumpuk pengangguran; mentradisikan keserakahan.
Selama ini, hukum ekonomi dipakai untuk menjaga pertumbuhan, bukan pemerataan. Untuk melindungi korporasi, bukan koperasi. Untuk mengamankan modal besar, bukan keberlangsungan hidup warga-negara.
Kita menghadapi kenyataan pahit: konstitusi berbicara soal gotong royong dan kedaulatan ekonomi, tapi praktik perundang-undangan lebih banyak tunduk pada logika pasar bebas dan tekanan lobi investasi.
Kekosongan UUPN itulah yang menjadikan negara ini kehilangan kendali atas arah pembangunan ekonominya sendiri. Lihat saja bagaimana agenda pembangunan disusun. Rencana lima tahunan disiapkan secara teknokratis, terputus dari mandat Pancasila serta UUD 1945, sehingga tanpa kerangka hukum yang mengikat.
Sedihnya, setiap ganti pemerintahan, ganti narasi. Tidak ada fondasi hukum yang menjamin bahwa ekonomi kita bergerak ke arah yang benar: adil, berkelanjutan, dan berpihak pada yang lemah. Justru yang dilanggengkan adalah status quo yang menempatkan warga negara sebagai target bantuan, bukan pelaku utama ekonomi.
Sudah waktunya kita mengakhiri sistem ekonomi yang menjadikan hukum sebagai pelayan pertumbuhan eksklusif. Legislasi ekonomi harus dibangun kembali, bukan dengan logika teknokratik dari atas, tapi melalui tekanan publik dari bawah.
Rancangan UUPN harus lahir dari tangan warga negara sendiri, bukan dari hasil kompromi ruang tertutup antara elite partai dan pelobi industri. Prosesnya harus terbuka, partisipatif, dan berani menabrak kenyamanan yang sudah terlalu lama dimonopoli oligarki.
Koperasi, BUMN, dan usaha rakyat lainnya bukan pelengkap narasi ekonomi. Mereka harus jadi pilar utama yang dilindungi hukum. Jika negara serius ingin membangun ekonomi yang demokratis, maka UUPN ini harus mewajibkan afirmasi terhadap pelaku ekonomi kecil, redistribusi akses terhadap tanah, modal, teknologi, dan pasar.
Tentu saja, kita tidak butuh subsidi yang bersifat karitatif. Sebaliknya, kita butuh sistem ekonomi yang dibentuk secara sadar untuk membalik struktur ketimpangan yang selama ini dianggap normal. Kita butuh revolusi konstitusi yang adil dan beradab.
Skema gotong royong hanya bisa hidup jika negara hadir. Dan, kehadiran negara bukan cukup dengan wacana. Ia harus diikat oleh hukum. UUPN harus secara terang mengharamkan praktik gotong-nyolong yang dilegitimasi lewat celah hukum.
Ini bukan soal moral semata, tapi soal struktur. Ketika hukum membiarkan, maka yang kuat akan terus menang dan yang lemah terus dikorbankan. Ini harus diputus: diakhiri sekarang juga!
Tiga langkah mendesak harus dilakukan. Pertama, bentuk sidang warga negara di seluruh daerah untuk menyusun draft aspiratif. Kedua, bangun koalisi lintas kampus, komunitas, dan pelaku ekonomi rakyat untuk mengawal proses legislasi. Ketiga, dorong terbentuknya Indeks Legislasi Ekonomi Berkeadilan sebagai alat pemantau seluruh produk hukum yang keluar dari parlemen.
Ini sangat penting karena kita tidak bisa lagi percaya penuh pada niat baik politik tanpa alat kontrol yang kuat. Parpol dan elite nasional terbukti tak sungguh-sungguh membela semua warga-negara. Sebaliknya, mereka membela dirinya saja.
Pemerataan ekonomi tidak bisa dicapai lewat seremonial. Ia hanya akan lahir dari perubahan struktural. Dan, perubahan itu tidak akan datang jika kita terus diam. Kita harus paksa hukum kembali ke jalan keadilan.
Kita harus rebut ruang legislasi dari cengkeraman elite ekonomi. Kita harus memulai perlawanan dari hal paling dasar: mengatur ulang sistem, dan jika kita ingin Indonesia merdeka secara ekonomi, maka UUPN bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah pertaruhan sejarah.
Kita sedang menentukan apakah ekonomi negeri ini akan terus dikendalikan dari atas oleh segelintir penguasa modal, atau dikembalikan ke tangan warga negara sebagai pemilik sah republik ini. Diam adalah izin. Bergerak adalah syarat.
Ingat kata Bung Karno (1901-1970) proklamator kita, "Berdikarilah. Jangan bergantung pada bangsa lain, bangunlah kemandirian di semua lini." Mari. Segerakan. Kini bukan nanti.
Social Footer