Breaking News

LSM Mempawah Berani: Pulau Pengikik Bagian Sah Kalbar, Klaim Kepri Langgar Konstitusi dan Sejarah DIKB

Mempawah–LSM Mempawah Berani kembali menegaskan sikap tegasnya atas polemik batas wilayah Pulau Pengikik Besar dan Kecil yang kini diklaim masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Melalui analisis yuridis yang dirilis oleh Juru Bicaranya, Siti Helga Janottama, mereka menyatakan bahwa klaim tersebut bertentangan dengan sejarah, hukum tata negara, dan prinsip kedaulatan wilayah berdasarkan konstitusi Indonesia.

Dalam Legal Opinion yang disusun secara sistematis, LSM Mempawah Berani menyebutkan bahwa Pulau-Pulau Pengikik secara historis merupakan bagian dari wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang kemudian menjadi bagian sah Provinsi Kalimantan Barat melalui Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 dan UU Nomor 25 Tahun 1956.

"Pulau Pengikik merupakan bagian dari gugusan pulau di Laut Karimata yang telah disebut dalam Protokol 27 Desember 1949 sebagai wilayah DIKB. Tidak pernah ada pengalihan sah secara hukum yang memindahkannya ke yurisdiksi Kepulauan Riau," tegas Helga.

Menurutnya, dokumen sejarah seperti Kontrak Sultan Lingga-Riau dan Belanda tahun 1857, serta Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949, menunjukkan bahwa wilayah kesultanan, termasuk Kesultanan Pontianak dan Lingga-Riau, telah memiliki dasar hukum dan pengakuan internasional atas kedaulatannya. Oleh karena itu, setiap perubahan wilayah yang melibatkan daerah swapraja seperti DIKB harus memiliki dasar hukum yang kuat, bukan melalui klaim administratif sepihak.

“Penunjukan Desa Pulau Pengikik sebagai bagian dari Kecamatan Tambelan dan menyebut Pulau Datuk sebagai batas timurnya dalam dokumen Perda Bintan adalah bentuk pengakuan yang bermasalah. Pulau Datuk sendiri adalah wilayah sah Kalbar. Maka, klaim itu mengandung potensi konflik yurisdiksi antarprovinsi,” tambahnya.

LSM Mempawah Berani juga menilai bahwa penyebutan batas wilayah dalam Perda tersebut melanggar prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 18B UUD 1945 yang menjamin eksistensi daerah istimewa berdasarkan sejarah.

“Selama belum ada Peraturan Bupati sebagai turunan sah dari Perda, maka dokumen tersebut tidak memiliki kekuatan hukum operasional. Oleh karenanya, pengakuan batas wilayah harus mengikuti prosedur formal termasuk koordinasi dengan Kemendagri dan Badan Informasi Geospasial (BIG),” jelas Helga.

LSM Mempawah Berani memberikan sejumlah rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat:

  1. Mengajukan keberatan resmi kepada Kemendagri RI dan BIG atas penyimpangan administratif tersebut.
  2. Menggugat melalui Mahkamah Konstitusi apabila terdapat UU atau kebijakan yang bertentangan dengan sejarah wilayah Kalbar.
  3. Mendorong pengakuan kembali Protokol DIKB dan dokumen kenegaraan era RIS sebagai dasar legal penegasan batas wilayah Kalimantan Barat.
  4. Menuntut revisi dan penyusunan peta nasional yang mengacu pada dokumen sejarah, bukan sekadar interpretasi administratif sepihak.

“Pengambilalihan wilayah historis seperti Pulau Pengikik oleh provinsi lain tanpa dasar hukum yang sah merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan konstitusional Kalimantan Barat dan mencederai prinsip persatuan wilayah dalam NKRI,” pungkas Helga.

Polemik batas wilayah ini menjadi pengingat penting bahwa sejarah, hukum, dan integritas administrasi wilayah tidak bisa diabaikan. Sengketa ini kini menjadi sorotan, dan publik menantikan ketegasan negara dalam menegakkan hukum tata negara yang adil dan historis.(Sabirin)

Iklan Disini

Type and hit Enter to search

Close