Menurut Yusuf, terdapat empat pintu masuk korupsi yang paling umum, dan yang paling awal adalah pada tahap perencanaan. Ia mencontohkan bagaimana penggelembungan anggaran seringkali terjadi sejak proses perencanaan kegiatan.
"Misalnya, satu kursi rapat seharusnya dianggarkan Rp400 ribu, tapi dalam realisasinya bisa menjadi Rp500 ribu hingga Rp600 ribu. Jika dikalikan ribuan kursi, nilainya bisa mencapai ratusan juta. Ini baru dari segi jumlah dan harga, belum lagi dari sisi kebutuhan yang dibuat-buat untuk kepentingan tertentu," ungkap Yusuf.
Selain perencanaan, ia juga menyoroti penempatan aparatur pemerintah yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Ia mencontohkan bagaimana seorang kepala daerah secara sepihak menempatkan orang-orang dekatnya di posisi strategis tanpa mempertimbangkan keahlian.
"Kalau orang yang bukan ahlinya ditempatkan, ya akhirnya amburadul. Banyak daerah yang menjalankan kegiatan pemerintahan secara keliru karena tidak menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat," tegasnya.
Yusuf juga mengungkapkan keterbatasan Komisi Kejaksaan dalam menjangkau dan menangani laporan-laporan pelanggaran etik maupun kinerja aparat kejaksaan, karena jumlah personel yang sangat minim. Meski begitu, pihaknya tetap membuka diri untuk menerima laporan dan kritik dari masyarakat.
"Kami siap dikritik demi perbaikan. Kadang ada yang enggan dikritik, tapi kami justru mendorong teman-teman di daerah untuk menyampaikan masalah yang ada kepada kami," tambahnya.
Rakernas LAKI yang dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat anti-korupsi ini diharapkan menjadi ajang konsolidasi untuk memperkuat pengawasan publik terhadap jalannya pemerintahan, terutama dalam memberantas praktik korupsi yang masih merajalela di banyak daerah.(Sabirin)
Social Footer